Jumat, 28 Maret 2008

Kitab tentang Takut

Dalam bab ini akan diterangkan hakikat takut dan menerangkan tingkatan-tingkatan takut dan menerangkan berbagai macam ketakutan dan menjelaskan keutamaan takut, juga penjelasan pengutamaan atas takut dan harap, dan menerangkan tentang obat takut dan penjelasan ma’na khusnul khatimah, dan penjelasan mengenai keadaan orang-orang yang takut dari para Nabi SAW dan orang-orang shaleh rahmatuLlaahi ‘alaihim. Maka kita minta kepada Allah sebaik-baik pertolongan.

HAKIKAT TAKUT

Ketahuilah sesungguhnya takut adalah ibarat dari kepiluan hati dan kebakaran hati disebabkan oleh akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa yang akan datang. Dan telah jelas yang demikian pada penjelasan hakikat raja’ .

Barang siapa yang hatinya jinak kepada Allah dan hatinya memiliki kebenaran maka jadilah ia anak zamannya yang menyaksikan ke elokan al-Haq secara terus menerus, maka tiadalah ia akan menoleh kepada masa yang akan datang. Maka tidak terdapat dalam dirinya suatu perasaan takut maupun harap, akan tetapi jadilah keadaannya di atas khauf / takut dan raja’. Karena sesungguhnya keduanya (khuf dan raja’) adalah kekang yang mencegah diri dari keluar kepada ketetapan keadaannya.

Karena itu al-Washithy telah memberikan isyarah dengan perkataan beliau, “Al-Khaufu (takut) adalah hijab antara Allah dan hambanya”.

Dan juga telah berkata, “Apabila hakikat telah nampak ke dalam rahasia / sirr , maka hilanglah di keutamaan khauf dan raja’ dalamnya.

Disimpulkan pula bahwa orang yang mencintai (Al-Muhib), ketika ia melihat yang dicintai namun ia disibukkan dengan ketakutan akan perpisahan, maka yang demikian ini adalah mengurangi kadar penyaksian kepada Yang dicintai. Dan sesungguhnya selalu memandang Yang dicintai adalah puncak dari segala maqam.

Akan tetapi saat ini kita akan memperbincangkan tentang permulaan maqamat, maka kami katakan :

Keadaan takut itu juga tersusun atas ilmu, hal, dan amal.

Adapun ilmu adalah pengetahuan tentang sebab-sebab yang membawa kepada sesuatu yang tidak disukai.

Dan yang demikian itu seperti orang yang berbuat aniaya terhadap raja kemudian ia jatuh ke tangan raja, maka takutlah ia akan terbunuh oleh raja itu umpamanya. Dan memungkinkan pula pemaafan dan pelepasan dari raja. Akan tetapi kepedihan hatinya dikarenakan takut tergantung dari kekuatan pengetahuannya tentang sebab-sebab yang membawa kepada pembunuhannya, dan itu adalah kekejian penganiayaan terhadap dirinya. Dan keadaan raja itu dengki, marah dan pembalas dendam. Dan keadaan dirinya dikelilingi oleh orang yang selalu membangkitkan kepada pembalasan dendam, kosong dari orang-orang yang memberi bantuan kepadanya. Dan orang yang sedemikian takut ini adalah kosong / jauh dari segala sesuatu yang menghantarkannya kepada jalan kebaikan, yang menghapuskan bekas penganiayaan dari hadapan raja.

Oleh karena itu mengetahui dengan jelasnya sebab-sebab, akan mengakibatkan kuatnya ketakutan dan kesangatannya kepedihan hati. Demikian pula karena lemahnya sebab maka menjadi lepah pula rasa ketakutannya. Maka jadilah kertakutan itu tidak karena penganiayaan yang dilakukan oleh orang yang takut, akan tetapi ketakukan itu lebih disebabkan oleh sifat orang yang ditakutinya. Seperti orang yang jatuh pada cengkeraman binatang buas, sesungguhnya ia takut kepadanya karena sifat binatang buas tersebut yaitu loba dan ganasnya kepada mangsanya walaupun mangsanya itu dengan pilihannya.

Terkadang juga rasa takut itu dikarenakan sifat atau tabi’at dari yang ditakuti. Seperti orang yang jatuh ke dalam aliran banjir atau berdekatan dengan sesuatu yang membakar. Maka sesungguhnya air itu ditakuti karena dapat menyebabkan membawa kepada mengalir dan tenggelam. Demikian pula pada api yang dapat menyebabkan terbakar.

Oleh karena itu pengetahuan tentang sebab-sebab yang tidak disukai itu menjadi sebab yang membangkitkan, menggerakkan kepada terbakarnya dan pedihnya hati. Dan kebakaran/ kepedihan inilah yang dinamakan Al-Khaufu (takut).

Maka demikianlah ketakutan kepada Allah Ta’ala sesekali disebabkan karena ma’rifat kepadaNya dan ma’rifat kepada sidat-sifatNya. Dan sesungguhnya jika Allah membinasakan seluruh alam niscaya Ia tiada peduli dan tiada pula pencegah yang menghalangiNya. Dan sesekali ketakutan hamba itu disebabkan oleh banyaknya pelanggaran yang dilakukan hamba itu dari beberapa perbuatan ma’siyat. Dan sesekali ketakutan hamba disebabkan oleh keduanya (ma’rifat dan adanya pelanggaran). Dan menurut pengetahuannya pula tentang kejelekan dirinya disamping ma’rifatnya kepada kebesaran Allah Ta’ala dan tidak memerlukannya Allah kepadanya, dan sesungguhnya Allah tidak akan di Tanya tentang apa yang Ia kerjakan sebaliknya merekalah yang ditanya, maka menjadi semakin kuatlah rasa takut itu.

Oleh karena itu manusia yang paling takut kepada Tuhannya,mereka itulah orang yang paling mengerti kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhannya.

Dan karena itulah Nabi SAW bersabda, “Anaa akhwafukum liLlaah” yang artinya, “Sesungguhnya Aku adalah yang paling takut kepada Allah diantara kamu semua”.

Demikian pula Allah Ta’ala berfirman, “Innamaa yakhsyaLlaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa’” yang artinya, “sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ‘Ulama’”’.

Kemudian apabila ma’rifat telah semakin sempurna, niscaya menyebabkan besarnya rasa takut dan terbakarnya hati, kemudian melimpahlah bekas keterbakarannya hati kepada badan dan anggota badan dan kepada sifat-sifatnya

Adapun bekasnya pada badan seperti kurus, dan pucat, dan pingsan, dan menjerit, dan menangis. Dan terkadang terhisap akan rasa kepahitan yang membawa kepada kematian, atau ketakutan tersebut naik ke otak sehingga merusakkan akal, atau ketakutan tersebut menguat sehingga menyebabkan putus asa.

Adapun pada anggota badan, maka dengan mencegah diri dari perbuatan maksiyat dan mengekangnya dengan ta’at untuk mendapatkan bagian dari pada yang telah lewat dan untuk mempersiapkan diri bagi masa yang akan datang (akhirat).

Karena itu dikatakan, bukanlah orang yang takut adalah mereka yang menangis dan menyeka air matanya akan tetapi mereka adalah orang yang takut akan dibalas dari perbuatannya. Telah berkata Abul Qasim Al-Hakim, “Orang yang takut terhadap sesuatu maka ia akan lari darinya, dan orang yang takut kepada Allah maka ia akan lari mendekati-Nya.”

Ditanyakan kepada Dzunun, “Kapan seseorang dikatakan takut ?”

Dzunun menjawab, “Apabila ia menempatkan dirinya seperti orang yang sakit, yang sangat berhati-hati agar sakitnya tidak berkepanjangan”.

Adapun pada sifat, maka dengan mengekang syahwat, dan mengeruhkan segala kesenangan. Maka jadilah perbuatan maksiyat yang semula disukai itu menjadi sesuatu yang dibenci. Sebagaimana madu dibenci oleh orang yang menginginkannya apabila ia mengetahui kalau di dalamnya terdapat racun. Maka terbakarlah (hancurlah) syahwat disebabkan takut. Dan menjadi beradablah perbuatan badan (untuk menjaga diri). Dan menjadi layulah hati dan khusyu, dan merendahkan diri dan menjadi tenang. Dan berpisahlah darinya sifat kesombongan, busuk hati dan hasud . bahkan jadilah ia yang melengkapi kesusahan dikarenakan takutnya dan pandangannya akan akibat yang akan diterimanya. Maka tidaklah ia mengosongkan waktunya bagi yang lain, dan tiadalah baginya kesibukan selain muraqabah, dan muhasabah (menghitung amal perbuatan dirinya), mujahadah/ bersungguh-sungguh, kikir dengan nafas dan perhatian, penyiksaan diri dengan segala gurisan dan langkah serta perkataan. Dan jadilah kondisi dirinya seperti orang yang jatuh dalam terkaman binatang buas, yang membawa bahaya. Ia tidak mengetahui jika binatang tersebut akan lengah darinya lalu melepasnya, ataukah binatang tersebut akan menyerangnya, maka binasalah ia. Maka jadilah keadaan lahir dan bathinnya sibuk terhadap apa yang ia takuti, dan tidak ada peluang bagi yang selain ditakuti.

Demikian inilah keadaan orang yang bersangatan rasa takutnya dan menguatnya rasa takut padanya. Dan demikian inilah keadaan para sahabat dan tabi’in. Dan kuatnya muraqabah (mengintai) dan muhasabah dan mujahadah sangat tergantung dari kuatnya rasa takut / khauf yang membawa rasa sakit di dalam hati dan terbakarnya hati. Dan kuatnya khauf / takut bergantung dari kuatnya ma’rifah / pengetahuan tentang keagungan Ilahi dan sifatNya dan af’al-Nya, dan pengetahuan tentang keburukan dirinya dan pengetahuan tentang apa yang ada di depan dirinya dirinya yaitu beberapa bahaya dan huru hara (hari akhir).

Dan serendah-rendah derajad khauf jika dilihat dari apa yang tampak pada bekas-bekas dhahiriyah di dalam amal adalah apabila dapat mencegah dari perbuatan yang dilarang. Dan dinamakanlah keberhasilan pencegahan dari perbuatan yang di larang dengan istilah wara’. Dan apabila semakin bertambah kekuatannya dalam mencegah diri dari jalan yang diyakini sebagai perbuatan haram, maka bagaimana pula terhadap sesuatu yang tidak diyakini pengharamannya. Maka yang demikian ini dinamakan taqwa. Karena pada dasarnya taqwa adalah meninggalkan apa yang diragukan kepada sesuatu yang tidak diragukan. Bahkan terkadang membawa kepada meninggalkan sesuatu yang tidak berbahaya dikarenakan khawatir di dalamnya terdapat bahaya. Dan inilah yang dinamakan As-Shidq / kebenaran di dalam taqwa. Dan apabila as-shidq bercampur dengan kesemataan / melulu dalam mengabdi (kepada Allah), maka pastilah ia tidak akan membangun sesuatu yang tidak akan ditempatinya (yaitu kemewahan dunia) dan tidak akan mengumpulkan sesuatu yang tidak ia makan dan ia tidak akan berpaling kepada dunia karena ia mengatahui bahwa dunia akan berpisah darinya, dan tidak pula ia menyerahkan kepada selain Allah dalam setiap nafas dari nafas-nafasnya. Maka inilah shidq / kebenaran, dan pantaslah bagi orang yang memiliki sifat ini dinamakan Ash-Shidq. Dan masuk dalam kebenaran itu taqwa. Dan masuk di dalam taqwa itu wara’. Dan masuk dalam wara’ itu menjaga diri. Karena sesungguhnya menjaga diri / ‘iffah adalah ibarat dari mencegah segala sesuatu yang bersesuaian dengan nafsu syahwat.

Dengan demikian, khauf/takut akan berbekas pada anggota badan dengan pencegahan dan penampilan. Dan terus meningkat dengan pencegahan menjadi istilah ‘iffah yaitu mencegah diri dari menuruti keinginan syahwat. Dan yang lebih tinggi dari ini adalah wara’, karena sesungguhnya wara’itu lebih umum yaitu mencegah segala sesuatu yang dilarang. Dan yang lebih tinggi dari wara’ adalah taqwa karena ia adalah istilah sebagai suatu pencegahan diri dari segala yang dilarang, dan yang syubhat bersama-sama. Dan dibelakang taqwa terdapat istilah Shidq dan muqarrab (orang-orang yang dekat dengan Allah) dan berlakulah tingkat yang akhir dibanding derajad sebelumnya sebagaimana berlakunya yang lebih khusus dibanding yang lebih umum. Oleh karena itu apabila anda menyebutkan yang lebih khusus maka sesungguhnya anda telah menyebutkan semuanya, sebagaimana ketika anda mengatakan manusia adakalanya ia bangsa arab dan mungkin juga orang ajam /non arab. Dan jika menyebutkan arab adakalanya ia Quraisy atau yang lainnya. Dan Quraisy ada kalanya Hasyimy atau yang lainnya. Dan Hasyimy ada kalanya ‘Alawy atau yang lainnya. Dan ‘Alawy ada kalanya Hasany atau Husainy. Maka jika anda menyebutkan bahwa ia Hasany misalnya, maka sesungguhnya anda telah mensifatinya dengan keseluruhan. Dan jika anda mensifatinya dengan Alawy maka anda sesungguhnya anda mensifatinya dengan yang di atasnya dari apa yang lebih umum lagi. Maka demikian pula jika anda menyebutkan istilah shidq maka sesungguhnya anda telah mengatakan orang itu taqwa, wara’, dan ‘’iffah. Maka tidak selayaknya anda beranggapan bahwa banyaknya nama/istilah itu menunjukkan makna yang banyak yang berlainan lalu bercampur aduk kepada anda, seperti bercampur aduknya pada orang yang mencari arti dari kata-kata dan tidak mengikutkannya kata-kata itu dengan arti. Inilah isyarah pada berkumpulnya beberapa makna khauf dan apa yang meliputinya dari segi ketinggian seperti ma’rifat yang mewajibkannya, dan dari segi kebawahan seperti amal yang keluar darinya sebagai cegahan dan penampilan.............

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity