Jumat, 28 Maret 2008

Kitab Takut dan Harap

Yaitu : Kitab ke tiga daru “rub’u”/perempat bagian yang menyelamatkan

Dari “kitab Ihya – Ulumuddin”


Bismilaahirrohmaanirrohiim

Segala puji bagi Allah yang diharapkan kasih sayang dan pahala-Nya. Yang ditakutkan kebencian dan siksaan-Nya. Yang membangun hati wali-walinya dengan keenakan harapannya, sehingga IA membawa mereka dengan kasih sayang nikmat-nikmat-Nya kepada ketetapan di dalam Hadrat-Nya.. dan berpaling dari negeri percobaann-Nya , yang menjadi tempat ketetapan musuh-musuhNya. Dan IA memukul dengan cemeti pentakutanNya dan hardikNya yang keras, akan muka orang-orang yang berpaling dari HadratNya. Ke negeri pahalanya dan kemuliaanNya. Dan DIA mencegah mereka kepada mendatangi yang dicacikanNya dan menghampiri kepada kemarahan dan kutukanNya. Karena tarikan segala jenis makhluk dengan rantai-rantai paksaan dan kekerasan . dan pada kali yang lain dengan kekang-kekang kelembutan dan kasih sayang kepada surgaNya.

Rahmat kepada Muhammad penghulu Nabi-NabiNya dan sebaik-baik makhlukNya. Dan kepada keluarga, para sahabat, dan anak cucunya.

Adapun kemudian, maka sesungguhnya harap / raja’ dan takut / al-khouf adalah dau sayap , yang dengan dua sayap itu , orang-orang muqarrabin terbang ke setiap tempat yang terpuji. Dan merupakan dua pisau , yang dengan pisau itu orang berjalan ke akhirat, memotong setiap tebing yang sukar didaki. Maka tiada yang membawa kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Pemurah dan kepada angin surga , serta keadaannya itu jauh tepi-tepinya, berat beban-bebannya, terkeliling dengan yang tiada disukai oleh hati dan dirindui oleh anggota-anggota badan dan sendi-sendi tubuh, selain oleh kekang-kekang harapan . dan tiada yang menahan dari neraka jahanam dan azab yang pedih , serta keadaannya terkeliling dengan keinginan-kinginan yang lemah lembut dan kesenangan-kesenangan yang menakjubkan , selain oleh cemeti-cemeti pentakutan dan kekuasaan-kekuasaan yang mengeraskan.

Jadi, tidak boleh tidak daripada penjelasan hakikat harap dan takut dan keutamaan keduanya. Dan jalan kesampaian kepada mengumpulkan diantara keduanya, serta (penjelasan tentang) perlawanan dan pertentangan diantara keduanya. Dan kami akan mengumpulkan penyebutan keduanya dalam suatu kitab yang melengkapi atas dua bagian. Bagian pertama tentang harap dan bagian ke dua tentang takut.

Adapun bagian pertama : maka melengkapi atas : penjelasan hakekat harap, penjelasan keutamaan harap, penjelasan obat harap, dan jalan yang menarik harap dengan jalan itu.

Penjelasan : Hakikat harap

Ketahuilah kiranya bahwa harap itu adalah termasuk dalam jumlah pangkat orang salik (orang yang berjalan kepada Allah) dan hal keadaan orang-orang yang menuntut jalan Allah.

Sesungguhnya sifat itu dinamakan : tingkat (maqam) ialah :apabila ia tetap dan berketapan di situ. Dan sesungguhnya dinamakan hal keadaan apabila ia itu mendatang (baru), yang segera hilang. Dan sebagaimana kuning itu terbagi kepada: yang tetap, seperti: kuning emas. Dan kepada yang segera hilang seperti: kuning pucat / ketakutan. Dan kepada apa yang diantara keduanya, seperti kuning orang yang sakit.

Maka sepereti ini pula , sifat-sifat hati itu terbagi kepada: bagian-bagian ini. Maka yang tidak tetap dinamakan: hal keadaan, karena dia itu berubah dengan cepat. Dan ini berlaku kepada setiap sifat, dari pada sifat-sifat hati.

Maksud kami sekarang ialah: hakikat harap. Maka juga harap akan sempurna dari: hal-keadaan, ilmu dan amal. Maka ilmu itu adalah sebab yang membuahkan hal-keadaan. Dan hal- keadaaan itu yang menghendaki amal perbuatan. Dan harap itu adalah suatu nama dari jumlah yang tiga tadi.

Penjelasannya ialah: bahwa setiap apa yang anda dapati dari: yang tidak disukai dan yang disukai maka terbagi kepada: wujudnya pada hal-keadaan yang sekarang, kepada wujudnya pada masa lalu, dan kepada yang ditunggu pada masa yang akan datang.

Apabila terguris di hati anda, suatu wujud di masa lalu niscaya dinamakan ingatan dan sebutan. Dan jikalau yang terguris di hati anda itu terdapat sekarang, niscaya dinamakan perasaan, rasa, dan tahu. Dan sesungguhnya dinamakan perasaan karena sesungguhnya dia itu suatu keadaan yang anda dapati dalam jiwa anda. Dan jikalau terguris dalam ahti anda akan adanya sesuatu pada masa mendatang dan mengeraskan yang demikian itu pada hati anda, maka dinamakan tungguan (penantian) dan kemungkinan terjadi.

Maka jikalau yang ditunggu itu sesuatu yang tidak disukai maka timbulah di dalam hati suatu kepedihan yang dinamakan takut dan kasihan. Dan kalau yang ditunggu itu yang disukai, yang diperoleh dari tungguannya, kesangkutan hati kepadanya dan kegurisan adanya di hati, kelezatan dalam hati dan kesenangan , maka niscaya kesenangan itu dinamakan harap. maka harap ialah kesenangan hati untuk menunggu apa yang disukainya.

Akan tetapi yang disukai dan yang diharapkan itu tidak boleh tidak bahwa dia harus ada sebab musabab baginya. Kalau tungguan itu adalah hasil kebanyakan sebab-sebabnya, maka nama harap padanya itu benar. Dan kalau tungguan itu rusak atau kacau balau sebab-sebabnya, maka nama tipuan dan dungu lebih tepat baginya, dari pada nama harap. Dan jikalau sbab-sebab itu diketahui adanya, atau tidak diketahui adanya , maka nama angan-angan lebiih tepat atas tungguannya. Dan pada setiap keadaan nama harap dan takut tidaklah dipakai secara mutlak, selain atas apa yang diragukan keberadaannya. Adapun bagi sesuatu yang diyakini, maka kedua istilah ini tidaklah dipakai. Oleh karena itu tidaklah benar dikatakan aku harap matahari terbit pada waktu dia terbit. Dan aku takut atas terbenamnya matahari pada waktu terbenam. Karena hal yang demikian sudah diyakini. Benar, jika dikatakan aku mengharap akan turunnya hujan dan aku takut akan terputusnya hujan tersebut.

Sesungguhnya telah diketahui oleh orang-orang yang memiliki hati nurani bahwa dunia adalah kebun akhirat. Dan hati itu seperti bumi, sedangkan iman itu seperti bibit tanaman di dalamnya. Dan ta’at itu diumpamakan sebagai usaha pengolahan tanah dan membersihkannya, serta diumpamakan sebagai penggalian sungai-sungai dan mengalirkan air di dalamnya. Dan hati yang membabi buta dengan dunia, dan karam di dalamnya, adalah laksana tanah yang tidak baik yang tidak akan dapat tumbuh bibit tanaman di atasnya. Dan hari kiyamat itu adalah hari memanen, dimana seseorang tidak akan memanen selain apa yang telah ia tanam. Dan tiadalah tetumbuhan yang di tanam untuk akhirat selain dari bibit iman. Dam akan sedikitlah manfaat iman itu jika disertai kekejian hati dan keburukan akhlak.

Sebagaimana bibit tidak akan tumbuh pada tanah yang tidak baik maka seyogyanya dikiaskan harapan seorang hamba akan ampunan dengan harapan orang yang mempunyai tanaman. Maka setiap orang yang mencari tanah yang baik, dan ditaburkan di atasnya bibit yang baik, yang tidak busuk dan tidak kena bubuk, kemudian dirawatnya dengan memenuhi segala apa yang diperlukan yaitu menyirami air pada waktu-waktunya kemudian membersihkan duri-durinya daserta dari rumput dan segala sesuatu yang menghalangi tumbuhnya bibit dan merusakkannya, kemudian ia duduk menunggu karunia dari Allah Ta’ala, menolak segala yang membinasakan dan bahaya-bahaya yang merusak , sehinggalah sempurnalah pertumbuhan tanaman dan sampai kesudahannya, maka tungguan yang demikian itu dinamakan harap. Dan jikalau ditaburkan bibit di atas tanah yang tidak baik yang tinggi, yang tidak disirami air kepadanya dan tidak diuashakan sekali-kali mengurus bibit itu kemudian menunggu panennya, maka dinamakan tunggun yang demikian itu adalah suatu kebodohan dan ketertipuan. Bukannya harap. Dan kalau ditaburkan bibit pada tanah yang baik, akan tetapi tidak ada air hujan dan menunggu datangnya hujan dimana hujan itu tidak biasa terjadi dan juga bukan tidak, maka tungguan itu dinamakan angan-angan, bukannya harap.

Jadi Istilah harap dibenarkan kepada menunggu yang disukai yang disediakan semua sebab-sebabnya yang termasuk di dalam usaha hamba. Dam tidak tinggal selain apa yang tidak masuk di dalam usaha hamba itu. Dan itulah karunia Allah Ta’ala , dengan menyingkirkan segala yang memotong dan yang merusak.

Jadi, seorang hamba yang telah menaburkan bibit iman dan menyiramnya dengan air ta’at dan membersihkan hati dari duri buruknya akhlak dan kemudian menungguh karunia Allah Ta’ala akan penetapannya di atas yang demikian sampai mati dan bagus kesudahannya / khusnul khatimah yang membawa kepada ampunan niscaya tungguannya itu adalah harapan yang hakiki, yang terpuji yang menggerakkan pada ketekunan dan tegak berdiri menurut yang dikehendaki oleh sebab-sebab iman, pada penyempurnaan sebab-sebab ampunan sampai kepada mati.

Dan jikalau terputus dari bibit iman, dan terputus dari penyiraman air keta’atan atau membiarkan hati terisi dengan akhlak-akhlak yang hina dan ia berkecimpung mencari kesenangan duniawi, kemudian ia menunggu ampunan, maka tungguannya itu adalah kebodohan dan ketertipuan. Nabi SAW bersabda Al Achmaqu man atba’a nafsahu hawaaha watamanna ‘alaLlahil jannah yang artinya, “Orang yang bodoh adalah orang yang mengikutkan dirinya akan hawa nafsunya dan ia berangan – angan kepada Allah untuk mendapatkan surga”. (diriwayatkan Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Abiddunya dan Al-Hakim dari Syaddad bin Aus).

Dan Allah Ta’ala berfirman “fakholafa mimba’dihi kholfun adhoo’ushholaata wattaba’uussyahawaata fasaufa yalqouna ghoyya” yang artinya –maka digantikan mereka oleh suatu angkatan, yang meninggalkan shalat, dan memperturutkan keinginan nafsu, sebab itu mereka akan menemui kebinasaan.

Dan Allah Ta’ala juga berfirman “fakholafa mimba’dihi kholfun warotsuul kitaaba ya’khudzuuna ‘arodho hadzal adnaa wayaquuluuna sayughfaru lana yang artinya- sesudah itu datang angkatan yang baru menggantikan mereka, mereka mempusakai Kitab, mengambil harta benda dunia dengan cara yang tidak halal sedang kata mereka ‘kami akan diampuni’. ( Al-A’raf 169)

Maka sesungguhnya Allah telah mencela orang yang mempunyai kebun apabila mereka memasukinya dan berkata, “Aku tidak akan mengira bahwa kebun ini akan binasa dan aku juga tidak mengira bahwa hari kiamat akan datang maka apabila kami dikembalikan kepada Tuhan kami niscaya aku akan mendapatkan tempat kembali yang lebih baik dari ini.

Dengan demikian seorang hamba yang bersungguh-sungguh melaksanakan tho’at dan menjauhi ma’siyat maka akan benarlah jiak ia menantikan anugerah dari Tuhannya berupa kesempurnaan ni’mat. Dan tiadalah kesempurnaan ni’mat itu terwujud kecuali masuk di dalam surga. Adapun orang yang berma’siyat manakala ia bertaubat dan mengerjakan kembali apa yang telah di sia-siakannya –dari amal saleh- maka benarlah apabila ia menantikan ampunan dari Allah. Adapun hakikat penerimaan taubat adalah apabila ia telah membenci ma’siyat yang membencikannya akan kejahatan serta menyenangkannya akan kebaikan, dan ia mencela serta mencaci dirinya dan menyenagi taubat serta rindu kepadanya maka benarlah apa yang ia harapkan dari Allah berupa petunjuk kepada taubat. Karena kebenciannya akan ma’siyat dan keinginannya kepada taubat itu berlaku sebagai berlakunya sebab-sebab yang terkadang membawa kepada diterimanya taubat. Dan sesungguhnya harap itu adalah sesudah kuat sebab-sebabnya. Dan karena itu Allah Ta’ala berfirma n “Innalladziina aamanuu walladziina haajaruu wajaahaduu fii sabiililLaahi ulaa-ika yarjuuna rohmatalLaahi” yang artinya ,”seungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah dan bekerja keras/jihad di jalan Allah, maka mereka itulah yang berhak mengharapkan rahmat Allah”.(Al-Baqarah – 218).

Artinya mereka itulah yang berhak mendapatkan rahmat dari Allah. Dan tidaklah yang dikehendaki peng-khususan harap, karena selain mereka terkadang juga mengharap, akan tetapi dikhususkan kepada mereka akan berhaknya harap.

Adapun orang yang menjerumuskan dirinya kepada apa yang tidak disukai Allah Ta’ala dan tidak juga mencela diri sendiri dan tidak berkeinginan taubat serta kembali kepada Allah, maka harapannya akan ampunan itu adalah kebodohan, seperti harapannya orang yang menebarkan benih pada tanah yang tandus dan bertekad tidak akan mengurusnya dengan penyiraman maupun pembersihan.

Yahya bin Muadz berkata, ketertipuan yang paling besar menurutku adalah berkepanjangan berbuat dosa dengan mengharapkan ampunan, tanpa disertai dengan penyesalan. Mengharapkan kedekatan dengan Allah tanpa melakukan tha’at dan ,menantikan tanaman surga dengan bibit neraka dan mencari rumah tempat orang ta’at dengan perbuatan ma’siyat, dan mengharapkan pahala tanpa mau beramal, dan bercita-cita kepada Allah Ta’ala disertai keteledoran.

Sya’ir

Engkau mengharapkan keselamatan

Akan tetapi engkau tidak menempuh jalannya

Sesungguhnya perahu

Tidak akan mengarungi daratan

Maka apabila engkau telah mengetahui hakikat harap dan tempat sangkaannya, maka anda telah mengetahui bahwa harap itu adalah suatu hal/keadaan yang dihasilkan oleh ilmu dengan berlakunya benyak sebab. Dan keadaan yang demikian ini akan menghasilkan kesungguhan untuk menegakkan sisa-sisa sebab tersebut menurut kemungkinan. Sesungguhnya orang yang membaguskan bibitnya, menyuburkan tanahnya, mencukupi airnya, benar harapannya, meka senantiasalah ia di bawa oleh benarnya harapan kepada mencari tanah, mengusahakannya dan membuang setiap rumput yang tumbuh padanya. Maka tidaklah luntur sekali-kali usahanya sampai kepada waktu memanen. Da ini dikarenakan bahwa harap itu berlawanan dengan putus asa. Dan putus asa itu menghalangi dari berusaha. Maka barang siapa yang mengetahui bahwa tanah itu tidak baik, air itu sangat sediikit, dan bibit itu tidak mau tumbuh niscaya akan ia tinggalkan dalam mencari tanah dan berpayah-payah mengusahakannya.

Harap itu terpuji karena ia menggerakkan kepada amal. Dan putus asa itu tercela dan iu berlawanan dengan harap karena putus asa itu memalingkan / menghalangi dari amal. Sedangkan takut itu tidaklah berlawanan dengan harap. Akan tetapi kawannya, sebagaimana akan ada penjelasannya. Bahkan takut itu penggerak tersendiri, dengan jalan ketakutan sebagaimana harap itu penggerak dengan jalan kegemaran-menyenangi sesuatu.

Jadi keadaan harap itu menyebabkan panjangnya kesungguhan/mujahadah dengan amal perbuatan dan rajin kepada ta’at, bagaimanapun berunah-ubahnya ahwal/keadaan.

Dan diantara kesan-kesan dari harap itu adalah enaknya terus menerus menghadapkan hati kepada Allah, merasa ni’mat dalam bermunajah dengan Dia, dan berlemah lembut dalam bermanis wajah terhadapNya. Sesunggguhnya segala keadaan yang demikian ini sudah pasti adanya. Dan jelas pula keadaan yang demikian ini bagi orang yang mengharapkan seseorang dari raja-raja ataupun seseorang dari orang biasa. Maka bagaimana lagi tidak jelas yang demikian ini pada hak Allah Ta’ala. Maka jikalau tidak jelas, maka hendaklah ia mengambil dalil yang demikian atas tidak diperolehnya tingkat harap (maqam ar - raja’). Dan turun dalam lembah tertipu dan angan-angan.

Maka demikianlah penjelasan dalam hal harap , dan mengapa ia dihasilkan oleh ilmu dan mengapa ia menerima hasil dari amal. Dan menunjukkannya atas dihasilkannya amal-amal ini, oleh hadist yang diriwayatkan Zaidul Khalil. karena ia berkata kepada RasuluLlah SAW, “Aku datang kepada Engkau dari alamat / tanda atas Allah pada orang yang menghendakinya, dan alamatNya pada orang yang tidak menghendakinya”. Maka Nabi SAW menjawab, “Bagaimana keadaan engkau ?”. Zaidul Khalil menjawab, “Keadaanku adalah mencintai kebajikan dan orang yang mengerjakan kebajikan, apabila aku sanggup mengerjakan sesuatu niscaya aku bersegera mengerjakannya. Dan apabila luput bagiku akan sesuatu tersebut, niscaya akan menggundahkan hatiku dan aku rindu kepadanya”.

Maka Nabi SAW bersabda, “Itulah alamat Allah pada siapa yang dikehendakiNya, jikalau Ia menghendaki engkau bagi yang lain niscaya disiapkanNya engkau yang lain tersebut kemudian Ia tiada menghiraukan pada lembah-lembahnya yang mana engkau binasa”.

Maka sesungguhnya Nabi SAW telah menyebutkan alamat/tanda orang yang dimaksudkan dengan kebajikan dari bukan alamat-alamat ini maka ia tertipu.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal,………aku memulai terjemah ihya ulumiddin semoga bisa selesai, kita bisa bagi2 info, . http://msenior82.blogspot.com/

muklisin mengatakan...

datang berkali - kali tidak ada balasan, bro

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity