Jumat, 11 April 2008

Syaqiq Al-Balkhi

Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 msehi dan termasuk guru besar sufi khurasan. Beliau adalah guru Hatim Al-Asham.

Diceritakan bahwa Syaqiq Al-Balkhi adalah putera seorang yang kaya raya. Ia pernah pergi berdagang ke Turki ketika masih muda, lalu masuk ke sebuah tempat penyembahan berhala. Ia melihat seorang pelayan beribadah dengan kepala gundul dan dicukur jenggotnya serta memakai pakaian berwarna hijau. Syaqiq heran, tidak bisa tinggal diam maka mendekatlah ia kepada orang itu dan berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu memiliki Tuhan Yang Maha Menciptakan, Yang Hidup, Maha Tahu dan Maha Kuasa maka sembahla Dia dan jangan menyembah berhala-berhala yang tidak bisa mencelakakan dan menguntungkan”.

Pelayan itu menjawab, “Jika memang apa yang kamu ucapkan itu benar bahwa Tuhanmu Maha Kuasa untuk mtmberikan rizki kamu di negerimu, mengapa kamu bersusah-susah datang kemari untuk berdagang ?”

Hati Syaqiq terpukul, kata-kata itu menusuk hatinya. Dia sadar bahwa selama ini dirinya terlalu sibuk dengan dunia. Diapun membuang kehidupannya dan lebih berhati-hati. Sejak saat itu ia memilih jalan zuhud.

Diceritakan bahwa sebab kezuhudan Syaqiq adalah karena ia telah melihat seorang budak yang beriman sedang bermain dan bersenang-senang di musim paceklik (kekurangan pangan). Orang-orang pun senang menontonnya.

“Kegiatan apakah yang kamu lakukan, tidakkah kamu melihat keadaan manusia di musim paceklik seperti ini ?”.

Budak itu menjawab, “Saya tidak perlu merasa susah dengan musim paceklik ini karena tuan saya mempunya desa / ladang yang bebas untuk kami ambil apa saja yang kami butuhkan”.

Jawaban itu mampu menggores hhati Syaqiq. Dia lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan. Dia bergumam, “Jika tuannya hanya memiliki ladang, maka tuannya adalah juga termasuk miskin juga, dan budak itu tidak perlu pusing dengan rizkinya. Maka bagaimana seorang muslim merasa pusing dengan rizkinya sedangkan Tuhannya adalah Tuhan Yang Maha Kaya”.

Hatim AL-Asham berkata, Syaqiq adalah seorang yang kaya. Dia suka bergaul dengan anak-anak muda. Ketika itu yang menjadi penguasa daerah Balkh adalah Ali bin Isa bin Mahan. Dia adalah seorang Amir yang suka memelihara anjing-anjing pemburu. Suatu saat ia kehilangan seekor anjingnya. Dia mengira bahwa anjingnya berada di rumah salah seorang tetangga Syaqiq. Merasa dicurigai, tetangga itu kemudian lari dan meminta perlindungan di rumah Syaqiq. Dia sangat takut, akhirnya Syaqiqpun pergi menemui Amir dan berkata, “Biarkan dia lari, anjing itu ada padaku. Saya akan mengembalikannya kepadamu dalam waktu tiga hari”. Lalu Syaqiq pulang ke rumahnya. Pada hari ketiga datanglah teman Syaqiq yang telah lama pergi dari Balkh. Ia menemukan seekor anjing di jalan dengan memakai kalung. Anjing itu diambilnya seraya berkata, “Akan saya hadihakan anjing ini kepada Syaqiq. Dai adalah orang yang suka berbuat seperti anak muda”. Anjing itu kemudian dibawanya kepada Syaqiq, sementara Syaqiq tahu bahwa itu adalah anjing milik Amir. Maka gembiralah Syaqiq, dan ia segera membawa anjing itu kepada amir. Terbebaslah Syaqiq dari jaminannya sehingga ia lebih waspada dan bertobat dari semua yang telah dilakukannya, dan memilih jalan zuhud.

Hatim Al-Asham berkata, kami pernah bersama Syaqiq di salah satu medan pertempuran untuk menyerbu Turki. Saat tiada yang terlihat selain kepala-kepala orang mati, tombak-tombak yang patah dan pedang-pedang yang putus, Syaqiq berkata kepadaku, “Apakah kamu merasa khawatir pada hari ini ?, apakah kamu bisa tidur seperti malam-malam ditemani isterimu ?”. Jawabku “Tidak sungguh tidak “. Syaqiq berkata, “Demi Allah, hari ini saya merasa tenteram seperti melam itu”. Kemudian Ia tidur diantara dua barisan, sementara saya berada di bawah kepalanya sehingga saya bisa mendengar suara dengkurannya”.

Diantara mutiara hikmahnya :

1. Jika kamu ingin mengetahui kejujuran seseorang, lihatlah janji Allah dan apa yang dijanjikan manusia. Apakah hatinya lebih mantap kepada janji Allah atau janji manusia.

2. Ketaqwaan seseorang dapat dilihat dari tiga hal : Dalam kesukaannya menerima pemberian, keikhlasannya dan pembicaraannya.


Pillars of Faith


The pillars of Faith, Iman, enumerated in many verses of the Qur'an and sayings of the Prophet Muhammad, peace be upon him, are belief in God, in God's Angels, His Books, His Messengers, in the Hereafter and in Qadar (Destiny). These are familiar terms; but the non-Muslim reader would be mistaken if he thought that the Islamic concepts designated by them are the same as those of other religions and philosophies. It is hoped that the following exposition, which is itself made in the light of the Qur'an and the sayings of the Prophet, will make this point clear. It will also make clear the fact that the Islamic concept of faith itself is, in many ways, different from the popular Western one. In the West faith is usually contrasted to reason and knowledge. But according to the Qur'an true faith is that which is based on knowledge and supported by argument. Any belief which is not so based and supported is considered by the Qur'an to be mere caprice and whim which a thinking person must avoid. True faith can therefore be gained through reflection and the acquisition of knowledge, and not by blind and irrational commitment. A person armed with such an enlightened faith can enter with great confidence into rational discussion with people who do not share his beliefs with the hope of showing them their mistakes and weaknesses and winning them over to truth. If this paper helps to take the reader a step in that direction it will have achieved its purpose, and all praise is due to God.

Contents:

God
The Hereafter
The Angels
The Books
The Messengers
Qadar
Conclusions

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity